Selasa, 26 Juni 2012

Rambat

Siapa itu yang bawa obor menembus gerimis?
Siapa itu yang menangis pilu sambil menjinjing nyiru?
Siapa itu yang berlari dengan rambut tergerai, basah?
Siapa itu yang menatap nyalang di rumpun bambu?
Siapa itu yang terperangah melihat paha mulus dibalik jarit batik?
Siapa itu yang tertawa?
Siapa itu yang terpekik?
Siapa itu yang mati-matian mencakar?
Siapa itu yang mengaduh, perut menganga kena hujam tusuk konde?
Siapa itu yang meregang nyawa?
Siapa itu?
Siapa?



Maka jadilah kehendakNya, ia selamat.
Ia terabas jalan setapak, mukanya basah, rambutnya basah. Tangisnya pecah.
Ia tak lagi segan berlari.
Tusuk konde perak di pinggang, pipi tergores debu, jemari berlumur darah. Pekat. Bukan darahnya.

Sampailah ia di batas desa.
Perlahan ia rapikan rambutnya, dipakainya tusuk konde anyir itu. Ia bilas lengan dan kakinya.
Ia rapikan kebayanya, wiru jaritnya yang tak karuan, serta sisa-sisa airmata yang mengerak di pipi. Ada bekas titik-titik hujan juga di situ.

Ia datangi satu rumah berpagar kayu. Ada pohon asam di muka, dan ada yang sedang duduk di dahannya. Memperhatikan seksama. Wanita jejadian berkaki kuda, menatap penasaran dengan matanya yang putih di balik helai rambut terurai.

Janganlah kau mengganggu! Aku hendak membayar dendam. Enyah atau rasakan pedihnya garam krosok di wajahmu yang rusak itu!

Wanita jejadian tertawa nyaring, mendesis takut. Terbang menjauh.



Ia ketuk pintu tuan rumah. Ia disambut wanita berparas ayu, jaritnya mewah, tusuk kondenya perak. Sama persis seperti miliknya. Tersenyum ramah

Hendak mencari siapa Mbakyu?

Ia terpana. Jadi inilah dia.  

Mas Adicakra ada? Saya bawa lengo tanah pesanannya. Ia bilang mau buat isi blencong bakal pentas wayang kulit nanti malam.

Maturnuwun Mbakyu, biar saya yang terima. Mas Cakra sedang di rumah Pak Dalang Sangaji.

Ia tersenyum tipis, sudah tahu jawaban itu.
Ia terima bayarannya, ia sisipkan di stagennya. Lalu pamit pulang.

Tapi ia tidak keluar dari halaman muka. Ia berputar, cari celah masuk.

Dari sela-sela dinding gedhek, ia mendengar percakapan. Itu suara Kekasihnya. Wanita itu berdusta!


Maka jadilah kehendaknya.
Pelan-pelan ia menabur jerami tipis dan debu, kemudian minyak harum, lalu ia percikkan minyak tanah ke tiap dinding rumah limasan itu. Perlahan. Tiap jengkal ia berdoa, tiap depa ia merapal mantra.

Lalu dikeluarkannya pemantik dan dengan sekali jentik, muncul api dan jerami mulai terbakar. Tengkuknya bergidik.
Namun hatinya sudah bulat, tekatnya sudah menggenang pekat.
Kekasihnya yang ia cintai berkhianat. Maka jadilah dendam berdaulat.

Dinding mulai terbakar. Atap berasap, api menjalar tenang.
Ia kembali ke halaman muka.
Menatap nyalang, lalu bersimpuh. Takzim.

Dari dalam terdengar pekik tuan rumah, panik cari jalan keluar. Namun rapalan mantra menahan mereka dari pintu. Akhirnya terbakar hidup-hidup. Perlahan..



Ia lalu menari, dalam bisu, di tengah gerimis, di depan api yang berkobar sangar, melumat rumah beserta penghuninya.

Ia menjejak tanah, menari sambil mengenang orangtuanya yang ditangkap dan disembelih penjajah. Ia menari sambil mengenang janji-janji Kekasihnya, tusuk konde pemberiannya yang dilapisi kata-kata manis, bahwa itu perak yang ditempa dengan cinta. Ia menari, mengenang, meregang harapan, bergumul dendam.


Biar kau rasakan panasnya api dunia sebelum kau mencicip neraka. 
Biar kau terima, duka yang kau sisipkan di hidupku, kini kusematkan kembali di akhir hidupmu.





Minggu, 01 April 2012