Minggu, 01 Juni 2014

Menjelang pagi

Kau datang di penghujung malam.
Terlihat lelah dan terdengar lemah.
Kemudian kau berbaring di sisi, bercerita tentang hari ini, dan aku sibuk menatap televisi.

Lalu kau berganti baju setelah lima kali aku minta. Debu jalanan bukan hal baik untuk dibawa ke atas ranjang.

Aku bosan.
Memilih untuk berbaring diam.
Menatap lekat-lekat pada lelaki yang bahkan tidak kukenal sebelumnya.

Kau terus berbicara. Bercerita apa saja sambil sesekali menguap.
Kantuk hampir menguasaimu rupanya.

Kemudian aku mengalihkan diri menatap jendela. Berpikir banyak hal. Lalu kau memelukku dari belakang. Bertanya apa aku baik-baik saja.

Aku baik-baik saja.
Tapi seperti ada yang pecah dalam kepala. Dan (sepertinya) itu salah.

Tanganmu tiba-tiba bergerilya. Meraba semua lekuk tubuh dari paha sampai payudara.
Kemudian kau habiskan hausmu di bibirku.

Entah berapa lama kita saling merengkuh, melebur dalam peluh. Tubuh membelit, jadi satu.

Namun seperti ada yang hilang.
Datangnya seketika.

Selesai sudah.





Aku tidak akan menyisakan sedikitpun relung hatiku untuk kau tempati.






Selasa, 04 Maret 2014

Senin

Pada suatu Senin, murung menggantung. Jakarta seperti abu-abu, menggelap. Dipayungi mendung, diselimuti asap kendaraan, berdenyut cepat diburu waktu, terkungkung.

Dari jendela kereta, terlihat awan-awan hujan sudah berkumpul di barat daya. Sebentar lagi akan turun hujan sepertinya.

Mudah-mudahan hujan sabar menanti hingga kami semua masuk tempat bekerja.

Jumat, 07 Februari 2014

Upstair

Kepulan asap rokok.

Kumpulan gelas yang mengembun.

Wajah-wajah lelah namun sumringah.

Duduk di sudut ruang, mengamati keriuhan sementara menunggu teman merayakan hari bahagia kekasihnya.

Canggung.

Sebab desibel yang melebihi batas, serta bersinggungan dengan orang-orang tak dikenal.

Lalu sedikit merindukanmu.

Dimana kau dan aku duduk tenang membaca buku, dengan dua gelas teh hangat.

Menjauh dari keriuhan.

Mengalir bersama liniernya waktu.


Sementara itu,

masih duduk mencermati, mulai terdedah bosan, dengan cangkir teh panas ketiga yang mulai tandas.

Minggu, 02 Februari 2014

Hujan

Hujan memiliki arti tersendiri bagi setiap individu.

Ada yang menganggapnya sebagai berkah yang tercurah.

Ada yang mengira itu muslihat musibah.

Ada yang berubah sendu sebab katanya mengubah suasana jadi melodramatis.

Ada yang berdiam tenang menikmati rintik dan harum tanah yang terpercik.

Ada pula yang bersukaria, berlari dan menari lupa usia, menganggap air tumpah ruah merupakan sarana mengikis dosa dan melipur lara, hibah Yang Mahakuasa.

Bagiku hujan memberi alasan tegas untuk meneruskan tidur.
Bergelung dalam selimut hangat, berharap sekat otak terbuka hingga logika tak lagi terhalang penat, kemudian tenggelam dalam kejemuan yang memekat.

Hingga esok tiba, kuharap hujan belumlah reda.




Malam

Kebahagiaan melekat padaku seperti stiker sedot WC yang menempel erat di tiang listrik. Ditempel sembarang, namun sulit dilepas.

Kebahagiaan itu, datangnya acak.

Lewat sebundel resep obat yang memperpanjang hidup.

Lewat sepotong pesan penghantar tidur.

Lewat penggalan adegan film.

Lewat setoples kastengel buatan Ibumu.

Lewat semangkuk sup pereda flu buatan Ibuku.

Lewat warna hijau lampu lalu lintas.

Lewat jilatan penuh terima kasih dari anjing peliharaan.

Lewat sel yang berkembang baik.

Lewat hujan dini hari.


Lewat dirimu.


Dimana kau adalah sebentuk kebahagiaan kekal sederhana yang aku cinta.




Kau

Sementara aku berdiam di beranda, menyelesaikan aneka rupa hitungan statistik dan menggerutu sendiri sebab perhitungan meleset, kau (mungkin) sedang bercengkrama bersama kawan-kawanmu di suatu ruang duduk, sambil minum teh hangat kesukaanmu.

Sementara aku berjejalan naik kereta menuju tempat kerja di Ibu Kota, kau (mungkin) sedang berkendara menuju kampusmu, naik sepeda, berjaket coklat tua, sambil bersenandung riang menggilas jalanan.

Sementara aku berjalan tak tentu arah, dengan kepala penuh sampah, kau (mungkin) sedang belajar materi ujian untuk pekan depan.

Sementara itu,
entahlah.




Aku naik bis kota. Bayar dua ribu duduk sepuasnya. Buka jendela selebarnya, lalu menikmati deru angin campur debu yang menghantam muka.
Lalu teringat ketika kau dan aku menumpang bis itu tempo hari. Berbicara apa saja dari Grogol sampai Salemba, sambil menikmati sore Jakarta.
Langitnya oranye, secerah senyum manismu.

Di sana menjelang sore juga sepertinya. Mungkin kau sedang duduk sambil membaca, atau melamun ketika naik sepeda.

Entahlah.




Sementara itu,

(mungkin)

Kau sedang sendiri. Entah memikirkan apa. Yang pasti, tak ada aku di sana.